Jumat, 13 November 2015

Psikoanalisis dalam Novel The Kite Runner



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam perkembangan ilmu sastra, mulailah dirasakan adanya pengaruh dari ilmu kemasyarakatan dan psikologi dalam studi sastra. Dengan semakin kuatnya arus masuk sosiologi dan psikologi ke dalam studi sastra, maka muncullah dua pendekatan baru, yakni: (1) pendekatan sosiologi yang memanfaatkan teori sosiologi; (2) pendekatan psikologi yang memanfaatkan teori psikologi.
Munculnya kajian sastra dengan menggunakan pendekatan psikologi ini berawal dari semakin meluasnya pengaruh teori psikoanalisis-nya Freud yang mulai muncul tahun 1905. Meluasnya teori psikoanalisis ini disebabkan oleh semakin luasnya penyebaran teori Freud mengenai tafsir mimpi (1900) dan Tiga teori tentang seksualitas (1905). Ditambah lagi, kedua teori penting tersebut telah berhasil mengangkat Freud ke puncak kejayaan sebagai tokoh psikologi modern. Hal itu diperluas lagi mengenai teori psikologi oleh murid-murid Freud seperti: C.G. Jung dengan psikoanalitis dan I.A. Richard dengan teori Kepribadian.
Dengan semakin meluasnya teori psikoanalisis tersebut, tidak terelakan lagi meluasnya pengaruh ke dalam berbagai sisi kehidupan, seperti agama, etika, edukatif, sosial, dan dunia sastra. Dengan pengaruh psikologi tersebut, para penelaah sastra mulai melakukan studi sastra dengan menggunakan pendekatan-pendekatan psikologi.
Namun, semakin berkembangnya psikologi sebagai suatau disiplin ilmu, maka studi sastra dengan pendekatan psikologi pun tidak semata bertumpu pada teori psikoanalisis-nya Freud, tetapi juga psikologi Gestalt, psikologi Behavioral, psikologi Eksistensial, psikologi Sosial, dan sebagainya.
                                                                                         
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang, dapat diformulasikan permasalahan pokok sebagai berikut:
1.                  Apa yang dimaksud dengan teori Psikoanalisis?
2.                  Bagaimana sejarah perkembangan teori psikoanalisis?
3.                  Siapakah tokoh-tokoh dalam teori Psikoanalisis?
4.                  Bagaimana kajian Psikologi terhadap Karya Sastra?
5.               Bagaimana kajian Psikologi terhadap Pembaca ?

C.     Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.        Untuk mendapatkan deskripsi tentang teori Psikoanalisis
2.        Untuk mengetahui sejarah perkembangan teori psikoanalisis
3.        Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam teori psikoanalisis.
Sedangkan kegunaan penulisan makalah ini adalah diharapkan makalah ini dapat menjadi bahan belajar pada mata kuliah Prosa Fiksi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Teori Psikoanalisis
            Dimulai dari suatu metode penyembuhan penderita sakit jiwa, hingga menjadi sebuah gagasan baru tentang manusia, psikoanalisis dianggap salah satu gerakan revolusioner dalam bidang psikologi. Peletak dasar teori ini adalah Sigmund Shlomo Freud, yang dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran dimana hal itu merupakan sumber energi perilaku manusia. Freud menyusun sebuah model sifat manusia untuk memahami manusia.
Sigmund Freud dilahirkan di Moravia, Cekoslovakia pada tanggal 6 mei 1856, pada usia 4 tahun bersama keluarganya Freud pindah ke Wina, Austria sebuah tempat dimana beliau kemudian menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya. Sejak kecil beliau dikenal pandai, gemar membaca, dan menguasai berbagai bahasa, di antaranya bahasa Jerman, Perancis, Inggris, Italia, Spanyol, Latin, Yunani, dan lain sebagainya. Kondisi politik Austria saat itu membatasi ruang geraknya sebagai seorang Yahudi untuk bisa meneruskan cita-citanya kuliah di fakultas hukum, sehingga Freud memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran, dan pada usia 25 tahun dia telah lulus dan bekerja di sebuah rumah sakit di kota Wina. Di sini Freud bertemu dengan seorang dokter dokter spesialis syaraf bernama Josef Breuer,  yang sedang merawat seorang pasien dengan gejala-gejala histeria bernama Bertha Pappenheim.
Pada tahun 1885 Freud mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Paris selama 4 bulan dan bertemu dengan Jean Charchot, seorang ahli syaraf dan hipnotis berkebangsaan Jerman. Dari beliau, Freud belajar tentang penggunaan hipnotis untuk menyembuhkan gejala-gejala histeria. Sepulangnya dari Paris, di Wina Freud kembali bekerja sama dengan Breuer dan menghasilkan sebuah buku yang sangat terkenal Studies of Hysteria (Freud & Breuer, 1895). Buku ini kemudian menjadi dasar bagi penelitian-penelitian Freud selanjutnya, beliau pertama kali memperkenalkan istilah psikoanalisa pada tahun 1896. Tulisan-tulisan Freud berikutnya pada periode tahun 1890-an banyak membahas tentang pentingnya peningkatan kesadaran individu tentang kehidupan seksualitasnya. Menurut Freud gejala-gejala histeria dan neurosis disebabkan oleh pengalaman seksual yang traumatis pada masa kecil.
Kombinasi antara ketertarikan Freud kepada masalah-masalah kejiwaan dengan pengalaman pribadinya pada masa kecil, dimana dia pernah mengalami ketertarikan pada ibu tirinya, serta rasa marahnya pada sang ayah, membuatnya ingin melakukan penelitian tentang mimpi dan fantasi. Hasil penelitiannya tersebut dituangkan dalam karya terbesar Freud yaitu Interpretation of Dreams, yang diselesaikannya pad tahun 1899, berisi tentang konsep bahwa mimpi merefleksikan harapan-harapan yang ditekan, dan bahwa proses mental dan fisik itu saling berhubungan satu sama lain, sebuah konsep yang saat itu banyak mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
Seiring dengan penolakan tersebut, respon positif mulai berdatangan dari beberapa simpatisan, dimulai dengan mengadakan forum the Wednesday Psychological Society (1902) hingga menjadi the Vienna Psychoanalytic Society (1908). Pada tahun-tahun itu Fr eud juga menjadi semakin produktif dalam menulis, beberapa buku berhasil diterbitkannya antara lain : the Psychopathology of Everyday Life (1901), Three Essays on Sexuality (1905), dan Jokes and Their Relation to the Unconscious (1905). Sebuah peristiwa penting yang akhirnya memberikan pengakuan terhadap psikoanalisa dan membawanya ke Amerika adalah undangan dari Stanley Hall untuk memberikan kuliah umum di Clark University di Worcester, Massachusetts pada tahun 1909. Setelah itu perhatian dunia semakin besar terhadap teori Psikoanalisa, ditambah dengan terbitnya buku penting Freud yang lain seperti Introductory Lectures on Psycho-Analysis (1917) dan the Ego and the Id (1923).
Perkembangan penting dalam psikoanalisa bukan hanya tentang tulisan-tulisan Freud tapi juga seputar interaksinya dengan para pengikutnya. Beberapa dari muridnya mengembangkan teori psikoterapinya sendiri seperti Alfred Adler, Carl Jung, dan Otto Rank, yang kemudian disebut sebagai neo-Freudian, lebih memfokuskan pada faktor-faktor sosial dan budaya daripada faktor biologis. Karen Horney (1937)  yang tidak setuju dengan pandangan Freud tentang perempuan, berpendapat bahwa faktor budaya dan hubungan interpersonal lebih berpengaruh terhadap kepribadian individu daripada trauma masa kecil. Erich Fromm (1955) memfokuskan penelitiannya pada kelompok-kelompok sosial dan perubahan kebudayaan. Neo-Freudian yang paling banyak mendapat perhatian karena memberikan tambahan dimensi pada teori psikoanalisa, adalah Harry Stack Sullivan (1953) dia memberikan penekanan pada faktor-faktor interpersonal dan hubungan teman sebaya pada masa kecil.
Sigmund Freud terus aktif berkarya hingga maut menjemputnya pada tahun 1939 karena penyakit kanker mulut dan rahang yang telah dideritanya selama 16 tahun terakhir, dan melewati 33 kali operasi. Beliau meninggal dunia di London pada usia 83 tahun dan meninggalkan warisan yang tidak ternilai bagi dunia psikoterapi modern.

B.   Tokoh-tokoh Teori Psikoanalisis
1.      Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar pendidikan Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
2.      T.S Elliot
3.      Carl.G.Jung.
4.      Ribot, psikolog Perancis
5.      L.Russu
6.      Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
7.      Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik penyair harus dalam keadaan jiwa tertentu pula.

C.   Sinopsis
The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Khaled Hosseini dengan brilian menghadirkan sisi-sisi lain dari Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di tengah belantara puing di kota Kabul, akankah Amir menemukannya?
The Kite Runner mengisahkan tentang dua sahabat karib yang bernama Amir dan Hassan. Amir merupakan seorang anak keturunan Ras Pashtun (ras terhormat di Afghanistan pada saat itu), ayahnya bernama Agha Sahib, seorang duda yang kaya raya. Sedangkan Hassan hanyalah anak seorang pelayan. Ayah Hassan bernama Ali dan ia merupakan pelayan di rumah Agha Sahib. Hassan merupakan anak keturunan Ras Hazara. Amir dan Hassan tinggal di Kabul Afghanistan, dan pada saat itu merupakan era pertempuran antara Taliban dengan Rusia. Amir dan Hassan selalu bermain bersama. Di tempat mereka tinggal, ada seorang anak yang bernama Assef yang memiliki kelainan seksual dan suka menganiaya anak laki-laki bersama geng brutalnya. Pada suatu hari, Assef ingin mencelakai Amir. Namun Hassan menyelamatkan Amir dengan gagah berani. Ia menembakkan ketapel ke mata Assef. Assef meraung kesakitan dan berjanji akan membalas perbuatan itu. Hassan setia mengikuti kemanapun Amir pergi, bahkan ia juga selalu berusaha melindungi Amir dari serangan Assef. Pada saat ulang tahun Hassan, Amir menghadiahi sebuah layang-layang kepada Hassan. Hassan sangat senang sekali menerima hadiah itu dan ia juga berjanji untuk mengajari Amir bermain layang-layang. Amir tidak bisa bermain layang-layang dan Hassan adalah seorang pemain layangan yang hebat. Berkat pengajaran dari Hassan, Amir dapat memainkan layang-layang dengan sangat baik. Bahkan pada saat ada pertandingan lokal bermain layang-layang, Amir berhasil memenangkannya. Pada saat Hassan pergi mengambil layang-layang Amir yang terjatuh di suatu tempat, Assef mengikutinya dan berhasil mendapatkan Hassan yang tengah sendirian berada di sebuah gang yang sepi. Pada saat itulah, Assef melakukan tindak kekerasan seksual kepada Hassan. Sebenarnya pada saat kejadian itu, Amir melihatnya. Namun ia memutuskan untuk melarikan diri dan tidak menolong sahabatnya, Hassan, yang telah rela melakukan apapun demi dia. Semenjak kejadian itu, Amir menjauh dari Hassan dan berbuat apa saja untuk membuat Hassan bisa pergi jauh dari dirinya. Pada saat itulah Amir memfitnah Hassan telah mencuri jam tangannya. Akibat peristiwa itu, Ali, ayah Hassan memutuskan untuk tidak bekerja lagi untuk keluarga Agha Sahib. Beberapa Tahun kemudian, terjadi invansi besar-besaran oleh Rusia, yang membuat Agha Sahib dan Amir harus mengungsi ke Amerika. Di Amerika, Amir mmenyelesaikan pendidikannya dan menjadi seorang penulis novel. Amir kemudian menikah dengan seorang wanita bernama Soraya, yang merupakan seorang puteri Jenderal yang bernama Taheri. Kemudian, setelah meninggalnya Agha Sahib, ayah Amir, tiba-tiba Amir mendapatkan sebuah surat dari Rahim Khan, yang merupakan rekan kerja dan teman baik ayahnya. Rahim Khan menyuruh Amir untuk pergi ke Pakistan untuk menemui dirinya. Setelah tiba di Pakistan, Rahim Khan menceritakan segala hal kepada Amir. Rahim Khan memberitahu Amir bahwa Hassan sebenarnya adalah saudara tirinya. Saat itulah Amir ingin bertemu kembali dengan Hassan. Namun Hassan telah meninggal bersama istrinya, Farzana. Mereka dibunuh oleh Kelompok Taliban. Namun, anak Hasan masih hidup dan sekarang berada di Afghanistan, di bawah kekuasaan Assef yang sekarang menjadi eksekutor Taliban. Amir berniat untuk kembali ke Afghanistan untuk menolong anak Hassan yang bernama Sohrab. Dengan segala cara dan mengeluarkan segenap keberaniaanya saat menghadapi Assef, Amir berhasil membebaskan Sohrab dan membawanya ke Amerika. Ia mengangkat Sohrab sebagai anaknya dan berusaha memenuhi setiap keinginannya, untuk membalas kebaikan temannya, yang tak lain adalah ayah Sohrab, di masa lalu.
Tak hanya menghibur, novel ini juga memberikan pengetahuan bagi pembacanya tentang konflik politik yang terjadi di Afghanistan, terutama mengenai perbedaan kasta antara kaum Sunni dan Syi'ah. Kekejaman kaum Taliban diceritakan dengan brutal, sadis, bengis, dan keji. Betapa sengsaranya rakyat Afghan dan porak porandanya infrastruktur kota-kota di Kabul mengingatkan penulis pada carut marutnya ibu pertiwi yang tak pernah benar-benar merdeka (hanya berganti penjajah dari bangsa asing ke bangsa sendiri). Satu hal yang benar-benar baru bagi penulis adalah potret kehidupan komunitas mayarakat Afghan-Amerika. Para imigran yang memiliki perkampungan tersendiri ini harus memulai hidupnya dari nol dan melupakan status dan kehidupan mewah mereka di negara asalnya agar bisa bertahan hidup. Rasanya tak berlebihan jika novel ini menjadi buku terlaris sepanjang tahun 2005 versi Publisher's Weekly dan menduduki tangga atas best-seller selama lebih dari 50 minggu.


D.   Kajian Psikologi terhadap Karya Sastra
Dalam kajian yang menekankan pada karya sastra ini, penelaah mencoba menangkap dan menyimpulkan aspek-aspek psikologis yang tercermin dalam karakter tokoh dalam karya sastra dengan tanpa mempertimbangkan aspek biografi pengarangnya. Penelaah dapat menganalisis psikologi para tokoh melalui dialog-dialog dan prilakunya dengan menggunakan sumbangan pemikiran dari aliran psikologi tertentu. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh penelaah sastra dala kajian ini merupakan upaya mencari kesejajaran aspek-aspek psikologi dalam karakater tokoh suatu karya dengan pandangan tentang psikologis manusia menurut aliran psikologis tertentu.
Namun, yang menjadi permasalahan kini, karya sastra yang bagaimana yang dapat dikaji dengan pendekatan psikologi sastra?, tentu saja jawabannya: karya sastra yang menekankan pada aspek-aspek psikologis dalam karya sastra itu. Berkaitan dengan konsep sastra psikologis ini, menurut Jung (Sukada, 1987:144), sastra psikologis adalah sastra yang berkaitan dengan cerita tentang dunia kesadaran manusia seperti pelajaran tentang kehidupan, dengan pengalaman nafsu dan puncak nasib secara umum. Semua itu membentuk kehidupan manusia secara sadar, khususnya dalam kehidupan perasaannya.
Sastra psikologis secara kejiwaan diangkat oleh pengarang dari pengalaman bisa lalu dibawa ke tingkat pengalaman puitis dan diungkapkan dengan sedemikian rupa, sehingga mampu membawa pembaca kepada kejelasan dan kedalaman pandangan tentang makhluk manusia yang lebih besar. Karya ini mengenai pengalaman kehidupan manusia dengan segala duka dan sukanya.
Berdasarkan ciri pengolahan aspek psikologisnya, karya-karya psikologis dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1) karya-karya yang oleh pengarangnya belum diberi penafsiran secara psikologis terhadap para tokohnya, sehingga terdapat ruang gerak bagi penelaah untuk menganalisisnya.
2) Karya yang jarang menyajikan eksposisi psikologis. Karya ini disusun berdasrkan anggapan-anggapan psikologis secara implisit. Oleh karena, pengarang tidak menyadari hal yang demikian, maka bagi penelaah itu justru membuat karya tersebut tampak utuh.
Kajian psikologi terhadap aspek kejiwaan para tokoh dalam cerita ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dalam psikologi. Teori psikologi yang telah banyak digunakan dari dulu sampai kini adalah psikoanalisis-nya Freud. Dalam kajian ini penelaah sastra ingin mendapatkan kesejajaran dari aspek-aspek psikologi tokoh dengan teori psikoanalisis.
Berkenaan dengan terdapatnya kesejajaran aspek-aspek psikologi para tokoh dalam karya melalui pandangan aliran psikologi tertentu, terdapat dua pengarang.
Pertama, kesejajaran itu terjadi karena sang pengarang memang sengaja memasukkan pandangan teori psikologi tertentu dalam karyanya. Hal itu seperti telah dilakukan oleh Khaled Hosseini, ia telah memasukan nilai psikologi  pada cerita yang berjudul “The Kite Runner” pada tokoh Amir, tokoh ini merupakan tokoh utama dalam cerita tersebut, id nya adalah ia telah memilih suatu keputusan yang salah pada masa lalunya, Pasa saat Hassan tengah mengejar laying-layang yang putus untuk Amir, Hassan dan Assef terlibat dalam suatu perkelahian memperebutkan laying-layang, pada akhirnya Assef melakukan tindak kekerasan seksual kepada Hassan. Sebenarnya pada saat kejadian itu, Amir melihatnya. Namun ia memutuskan untuk melarikan diri dan tidak menolong sahabatnya, Hassan, yang telah rela melakukan apapun demi dia. Semenjak kejadian itu, Amir menjauh dari Hassan dan berbuat apa saja untuk membuat Hassan bisa pergi jauh dari dirinya. Waktu pun berlalu dan akhirnya Amir memiliki keberaniaan untuk menebus segala kesalahannya dulu pada Hassan, ia harus merawat anaknya Hassan yaitu Sohrab. Terdapat  perubahan psikologi dalam diri tokoh Amir, ketika ia menjadi dewasa, sebagai lelaki yang dewasa ia harus memperbaiki kesalahannya di masa lalu.
Pada tokoh Agha Sahib memiliki kepribadian introvert, yaitu kepribadian yang tertutup lebih banyak berorientasi kepada diri sendiri. tidak mudah kontak dengan orang lain. Hal ini ditujukan pada tingkah laku Agha, dengan sengaja agha sahib menutupi kebenaran bahwa Hassan merupakan saudara tiri dari Amir, itulah alasan Agha Sahib sangat baik kepada Hassan, namun Agha Sahib tidak bisa menunjukan rasa sayangnya kepada anak tirinya tersebut, karena hanya Amir yang merupakan anak yang sah Agha secara hukum.
Kedua, kesejajaran antara aspek-aspek psikologi tokoh dalam suatu karya dengan pandangan psikologi tersebut terjadi secara tidak sengaja. Hal ini dapat terjadi karena pengarang yang memiliki kepekaan rasa lebih dari manusia biasa mampu menangkap aspek-aspek kejiwaan manusia yang paling dalam. Aspek-aspek kejiwaan ini lalu diolahnya adan dilahirkannya dalam bentuk sebuah karya. Begitu juga seorang psikolog mampu menangkap aspek-aspek kejiwaan manusia yang paling mendasar. Hanya perbedaannya dengan pengarang, dia tidak menyajikannya dalam wujud karya sastra, tetapi dalam bentuk laporan ilmiah (buku). Hal itulah tidak mengherankan jika di antara keduanya terdapat kesejajaran secara kebetulan, karena tempat berangkatnya sama yaitu perilaku manusia.
E.                Kajian Psikologi terhadap Pembaca

Dalam kajian ini peneliti ingin mendapatkan gambaran tentang berbagaimana pengaruh suatu karya sastra terhadap proses psikologi pembacanya. Penelaah sastra ingin menelusuri bagaimana rahasia daya tarik dari karya sastra terhadap pembaca, baik secara individu maupun kelompok. Penelaaah berusaha mengemukakan bagaimana caranya pengalaman individu sang pembaca dapat dibawa ke dalam pengalaman hidup yang ada dalam suatu karya. Bahlan, jika mungkin menemukan bagaimana caranya pembaca menyatukan diri dengan pengalaman yang terdapat dalam suatu karya.
Kajian psikologi terhadap pembaca mengarahkan diri dengan menggunakan pendekatan Ikonik (pancaran pribadi), artinya bahwa respon tokoh cerita tercermin lewat pribadi pembaca, atau sebaliknya rasa kasihan, simpatik, terpesona, dan sebagainya pembaca ikut seolah-olah larut dalam alur cerita yang dibacanya.


BAB III
PENUTUP

Simpulan
Kritik Psikoanalisis adalah kritik sastra yang menerapkan kaidah-kaidah psikoanalisis dalam membicarakan karya sastra. Psikologi sastra menganalisis secara terperinci pengalaman emosional yang dapat menjadi sumber gangguan jiwa tokohnya. Psikoanalisis pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud.
Tokoh-tokoh Teori Psikoanalisis antara lain,Sigmund Freud, T.S Elliot, Carl.G.Jung, Ribot, L.Russu, Wordsworth, Tatengkeng, Pujangga Baru.
Sastra psikologis secara kejiwaan diangkat oleh pengarang dari pengalaman bisa lalu dibawa ke tingkat pengalaman puitis dan diungkapkan dengan sedemikian rupa, sehingga mampu membawa pembaca kepada kejelasan dan kedalaman pandangan tentang makhluk manusia yang lebih besar. Karya ini mengenai pengalaman kehidupan manusia dengan segala duka dan sukanya.
Kajian psikologi terhadap pembaca mengarahkan diri dengan menggunakan pendekatan Ikonik (pancaran pribadi), artinya bahwa respon tokoh cerita tercermin lewat pribadi pembaca, atau sebaliknya rasa kasihan, simpatik, terpesona, dan sebagainya pembaca ikut seolah-olah larut dalam alur cerita yang dibacanya.


Biografi Nugroho Notosusanto



Biografi Nugroho Notosusanto

Bridjen TNI (Purn.) Prof. Dr.Nugroho Notosusanto (lahir di Rembang, Jawa Tengah, 15 Juni 1930 – meninggal di Jakarta, 3 Juni 1985 pada umur 54 tahun) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1985). Sebelumnya juga ia pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia (1982-1983). Ia berkarier di bidang militer dan pendidikan. Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, yang oleh H.B. Yassin digolongkan pada Sastrawan Angkatan 66.

Masa kecil

Ayah Nugroho bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan seorang pendiri UGM. Kakak Nugroho pensiunan Patih Rembang dan kakak tertua ayah Nugroho adalah pensiunan Bupati Rembang. Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu itu di daerah pesisiran Rembang. Nugroho adalah anak pertama dari tiga bersaudara.
Keluarga
Ketika Nugroho sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Savitri Ramelan (Lilik). Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960, di Hotel Indonesia. Istri Nugroho adalah keponakan ibu mantan Presiden RI Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita sudah tamat FIS UI, yang kedua Inggita Suksma, dan yang ketiga Narottama.

Pendidikan

Pendidikan yang pernah diperoleh Nugroho adalah Europeese Lagere School (ELS) tamat 1944, kemudian menyelesaikan SMP di Pati Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta. Setamat SMA ia masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960. Tahun 1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira ataukah menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejaknya. Ternyata, setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul meskipun sang ayah tidak sempat menyaksikan putranya dikukuhkan sebagai guru besar FSUI karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Dengan usaha yang sebaik-baiknya, amanat ayahnya kini telah diwujudkan meskipun kecenderungan pada karier militernya tidak pula tersisih. Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis "The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesia", yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia. diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Nugroho mendapat pendidikan di kota-kota besar seperti Malang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Pengalaman kemiliteran

Pengalaman Nugroho Notosusanto di bidang kemiliteran, pernah menjadi angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Sejak Nugroho menjadi anggota redaksi harian Kami, ia semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Nugroho mendapatkan pangkat tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya pada AD. Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal, pangkat tertinggi yang mungkin diraih dalam karier sipil di kemiliteran saat itu. Sejak tahun 1964, ia menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam herbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya kembali disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Buku ini menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan banyak pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik.

Karier menulis

Nugroho dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis buku-buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu, dan terjemahannya yang diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul. Buku-buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Wawasan yang mendalam tentang sejarah perjuangan ABRI menyebabkan ia mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Di bidang keredaksian dapat dicatat sejumlah pengalamannya, yaitu memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim Tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi redaksi majalah Pelajar.
Nugroho juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 tercatat empat kali pertemuan ilmiah internasional yang dihadirinya.

Karier di bidang pendidikan

Di bidang pendidikan, Nugroho banyak memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971-1985 Nugroho menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembina Pahiawan Pusat. Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa.
Pada tanggal 19 Maret 1983, Nugroho dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV. Ia dikenal sebagai orang yang kaya ide, karena semasa menjadi menteri, ia mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Pendidikan Humaniora. Di samping itu, banyak jasa-jasanya dalam dunia pendidikan karena ia yang mengubah kurikulum menghapus jurusan di SMA, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah. Nugroho adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai tata laksana upacara resmi dan tata busana perguruan tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.

Penghargaan

Puncak pengakuan atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha Dharma Nararya, Satyalancana Penegak.

Karier sebagai sastrawan

Pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi di antaranya adalah Nugroho Notosusanto.
Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai. Nugroho menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang krisis kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroholah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953; yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.
Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.
Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas. Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan. Hasil terjemahan Nugroho, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method. Terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa, 1971 (Mario Pei, The Story of Language), dan Mengerti Sejarah. Karena Nugroho cukup lama dalam kemiliteran, ia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang serta suka-dukanya hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan, Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, dan Karanggeneng. Dalam cerpen ini bahasa yang digunakan padat dan sering ada kata-kata kasar. Nugroho juga dapat bercerita dengan bahasa yang halus, seperti yang terdapat pada cerpen yang berjudul Nini. Cerpen yang berjudul Nini ini bertema seorang anak yang cacat dan ditinggal meninggal oleh ibunya, tetapi masih mengingat-ingat kebaikan ibunya. Cerpen ini bahasanya sederhana dan isinya mudah dimengerti pembaca. Isi cerpen ini tentang seorang ayah mencintai anaknya yang cacat dan yang mirip dengan almarhumah istrinya.
Lingkungan pendidikan kata-kata kasar agaknya memberi pengaruh pada sikap dan pandangan hidupnya, seperti sikap terhadap dunia nenek moyang yang magis religius, seperti kita lihat dalam cerpennya yang berjudul Mbah Danu, yaitu mengisahkan dukun “Mbah Danu” yang terjadi di kota kelahiran pengarang. Dukun besar yang diakui keampuhannya di seluruh daerah dalam menyembuhkan orang sakit dengan mengusir roh-roh, setan-setan, dan jin-jin yang biasanya menghuni orang yang sedang sakit. Adanya kepercayaan mistik ini kemudian menimbulkan pertentangan di kalangan ilmuwan yang berpendidikan modern yang tak mau tahu tentang ilmu gaib. Begitu juga seorang dokter yang melakukan tugasnya dengan perhitungan ilmiah.
Sebagai pengarang dan sebagai tentara Nugroho dapat bercerita tentang suasana pertempuran, baik tentang tempat, maupun peralatan peperangan. Pengarang mau berkata sejujurnya bahwa manusia itu tidak bebas dari kesalahan, baik dia tentara, pelajar, maupun pemimpin, seperti yang dilukiskannya dalam cerpen Pembalasan Dendam.
Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku ini cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan manusia yang mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang sering terjadi dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat observasi yang tajam.
Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis antara tahun 1953-1954, judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang. Oleh karena itu, kumpulan cerpen tersebut diberi judul Tiga Kota. Cerpen-cerpen yang terkandung dalam Tiga Kota ini pada umumnya sangat menarik, tidak hanya karena penuturan cerita yang lancar dan dipaparkan dengan gaya akuan, tetapi juga karena penulis sendiri mengalami peristiwa yang dituturkannya. Dengan demikian, cerpen-cerpen itu kelihatan hidup. Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi penulis.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Ia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia.

Karier sebagai sejarawan dan kontroversinya

Sebagai seorang sejarahwan, Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut.[1] Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.
Ketika diangkat sebagai menteri pendidikan pada 1984, Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk lebih menekankan peranan historis militer. Pada tahun ini pula Nugroho ikut menulis skenario untuk film Pengkhianatan G30S/PKI yang memuat versi resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini kemudian dijadikan tontonan wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal 30 September hingga tahun 1997.
Peranan Nugroho dalam penulisan sejarah versi Orde Baru paling menonjol ketika ia mengajukan versinya sendiri mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno. Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.

Kematian

Nugroho meninggal dunia hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Ia adalah menteri keempat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa tugasnya. Ia dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Cerpen yang dibukukan
1.      Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. 1963. Jakarta: Balai Pustaka
2.      Hudjan Kepagian. 1958. Jakarta: Balai Pustaka
3.      Rasa Sayange. 1961. Jakarta: Pembangunan
4.      Tiga Kota. 1959. Jakarta: Balai Pustaka


Cerpen dalam majalah
Prosa
1.      Pondok di Atas Bukit. Kompas untuk generasi baru, 11.1, (51), 15—17.
2.      Teratak. Kompas untuk generasi baru, 13.1, (51), 33-34. (Nugroho NS)
3.      Sebuah Pertemuan. Kompas untuk generasi baru, 2.2, (52), 33-35.
4.      Eksekusi. Madjalah Nasional, 44.4, (53), 20-21.
5.      Gunung Kidul. Madjalah Nasional, 30.4, (53), 20-2 1.
6.      Jeep 04-1001 Hilang. Kisah, 1.1, (53), 7, 9-10.
7.      Konyol. Madjalah Nasional, 33.4, (53), 20-22.
8.      Pembalasan Dendam. Madjalah Nasional, 37.4, (53), 20-22.
9.      Ideal Type. Kisah, 1.2, (54), 19-22
10. Mbah Danu. Kisah, 9.2, (54), 271-172.
11. Nokturne. Kisah, 12.2, (54), .365-368.
12. Piyama. Kisah, 6.2, (54), 177-178.
13. Puisi. Kisah, 7.2, (54), 210-211.
14. Raden Satiman. Kisah, 3.2, (54), 79-81.
15. Vickers Jepang. Kisah, 5.2, (54), 129-131.
16. Jembatan. Kisah, 8.3, (55), 16-22.
17. Partus. Mimbar Indonesia, 25.9, (55), 20-2 1, 24-25.
18. Senyum. Madjalah Nasional, 6,7.6, (55), 25-26,22-23,26.
19. Setan Lewat. Mimbar Indonesia, 6.9, (55), 20-21.
20. Panser. Siasat, 524.11, (57), 29-31, 34.
21. Tangga Kapal. Forum, 4-5.4 (57), 24,32.
22. Kepindahan. Siasat, 598.12, (58), 31-32.
23. Piano. Siasat, 574.12, (58), 24-27.
24. Ular. Siasat, 595.12, (58), 26-29.
25. Karanggenang. Siasat, 619.13, (59), 28-30.
26. Latah. Siasat, 626.13, (59), 23-24.
27. Sungai. Budaya, 8.8, (59), 276-279,
28. Bayi. Femina, 16, (73), 42-44.
29. Alun. Kompas untuk generasi baru, 1.2, (52), 67.
30. Jerit di Malam Kelam. Madjalah Nasional, 18.3, (52), 17.
31. Pesan di Malam yang Penub Bintang. Madjalah Nasional, 17.3, (52), 19.
32. Rancangan Requiem. Kompas untuk generasi baru, 1.2, (52), 67.
33. Sebuah Pagi. Madjalah Nasional, 49.3, (52), 21.
34. Sepotong Kenangan. Madjalah Nasional, 46.3, (52), 19.
35. Sesal. Kompas untuk generasi baru, 2.2, (52), 36.
36. Tiwikraina. Madjalah Nasional, 47.3, (52), 19.
37. Adios Yogya. Madjalah Nasional. 10.4, (53), 19.
38. Amerta. Madjalah Nasional, 16.4. (53), 19.
39. Bali. Budaya, 9, (53), 39.
40. Longka Pura. Madjalah Nasional, 16.4, (53), 19.
41. Sebuah Malam Minggu. Madjalah Nasional, 14.4, (53), 19.
MBAH DANU
Cerpen  Nogroho Notosusanto
  Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu "didiami" oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.

  Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringkik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan-perempuan serumah dan tetangga-tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit seolah-olah percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma jadi macan gadungan.

   Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti berita radio, Mbah Danu sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang. Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu dating  membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya.

  Dia tembusi badan Nah dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk Jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.

  "Ambilkan sapu lidi!" perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikarnya ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.

  "Ngeoooong!" keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.

  "Mampus engkau sekarang!" seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan irama rhumba.  Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.

  "Minggat! Ayo minggat!" teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.

   "Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuung!!" tangisnya menggaung.

   "Minggat! Minggat! Minggat!!" suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas mengalir masuk ke rumah itu untuk menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.

   "Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuuh!" pekik Nah seperti manusia biasa.

   "Minggat! Minggat! Ayo minggat!!" jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan kanan dan menggenggam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya 11/2 meter.

  "Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?" Tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba merangkak.

  Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.

  "Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah," katanya dengan suara mineur yang lembut. "Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu."

  Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.

  "Ha! Hampir modar engkau sekarang!" seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama 5 menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.

  Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah Danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemudian ia melepaskannya dan tegak pada lututnya.

   "Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah," katanya tenang. "Engkau telah sembuh." Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.

   "Tidurlah saja dulu sampai besok," kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulntnya pada dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan ke luar untuk rneminuni kopinya.

   Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawanya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr. Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.

   "O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu," kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. "Coba buka baju saja; akan saya usir." Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr. Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.

  "Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakkan rahimmu?!"

  Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatanMbahDanu tetap utuh.

  Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi, ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau; sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.

  "Malaria," diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.

  Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.

  Dokter Umar Chattab heran.

  "Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?" tanyanya.

  "Ya," jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. "Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah."

  Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.

  Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.

  Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri  ke dalam  kamar tamu. Asbaknya penuh dengan puntung sigaret.

  "Kita telah berbuat sebaik mungkin," kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.

 "Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!" seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.

  "Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!" katanya lagi.

  "Inna li'llahi wa inna illahi raji'un," kata Nyonya Salyo.

  Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya.

Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membukajendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.                                                 

7-7-1954
Sumber: Kumpulan Cerpen Tiga Kota