Biografi Nugroho Notosusanto
Bridjen TNI (Purn.) Prof. Dr.Nugroho Notosusanto (lahir di Rembang, Jawa
Tengah, 15
Juni 1930 – meninggal di Jakarta, 3
Juni 1985 pada umur 54 tahun) adalah Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1985). Sebelumnya juga ia pernah
menjadi Rektor Universitas Indonesia (1982-1983). Ia berkarier di bidang militer dan pendidikan. Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, yang oleh H.B. Yassin digolongkan pada
Sastrawan Angkatan 66.
Masa kecil
Ayah Nugroho bernama R.P.
Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli hukum Islam,
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan seorang
pendiri UGM. Kakak Nugroho pensiunan Patih Rembang dan
kakak tertua ayah Nugroho adalah pensiunan Bupati Rembang.
Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu
itu di daerah pesisiran Rembang. Nugroho adalah anak pertama dari tiga
bersaudara.
Keluarga
Ketika Nugroho sedang
giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Savitri Ramelan
(Lilik). Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12
Desember 1960,
di Hotel Indonesia. Istri Nugroho adalah keponakan ibu
mantan Presiden
RI Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai
tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita sudah tamat FIS UI, yang
kedua Inggita Suksma, dan yang ketiga Narottama.
Pendidikan
Pendidikan yang pernah diperoleh
Nugroho adalah Europeese Lagere School (ELS) tamat 1944, kemudian
menyelesaikan SMP di Pati Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta.
Setamat SMA ia masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960.
Tahun 1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of London. Ketika tamat SMA,
sebagai seorang prajurit muda ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier
militer dengan mengikuti pendidikan perwira ataukah menuruti apa yang
diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan
sabar mengamati jejaknya. Ternyata, setelah 28 tahun, keinginan ayahnya
terkabul meskipun sang ayah tidak sempat menyaksikan putranya dikukuhkan
sebagai guru
besar FSUI karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Dengan
usaha yang sebaik-baiknya, amanat ayahnya kini telah diwujudkan meskipun
kecenderungan pada karier militernya tidak pula tersisih. Pada tahun 1977 ia
memperoleh gelar doktor
dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis "The Peta Army During the
Japanese Occupation in Indonesia", yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di
Indonesia. diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Nugroho mendapat
pendidikan di kota-kota besar seperti Malang,
Jakarta, dan Yogyakarta.
Pengalaman kemiliteran
Pengalaman Nugroho Notosusanto
di bidang kemiliteran, pernah menjadi angota Tentara
Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Sejak Nugroho menjadi anggota
redaksi harian Kami, ia semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia
tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya
mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Nugroho mendapatkan pangkat tituler
berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan
jabatannya pada AD. Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal, pangkat tertinggi
yang mungkin diraih dalam karier sipil di kemiliteran saat itu. Sejak tahun
1964, ia menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi
anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam herbagai
pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya kembali
disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar
Negara. Buku ini menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan banyak
pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik.
Karier menulis
Nugroho dikenal sebagai penulis
produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis
buku-buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu, dan terjemahannya yang
diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul. Buku-buku itu sebagian besar
merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Wawasan yang mendalam
tentang sejarah perjuangan ABRI menyebabkan ia mampu mengedit film yang
berjudul Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Di bidang keredaksian dapat
dicatat sejumlah pengalamannya, yaitu memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin
redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa
bersama Emil
Salim Tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi
pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah
Forum, dan menjadi redaksi majalah Pelajar.
Nugroho juga aktif dalam
berbagai pertemuan ilmiah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam
tahun 1959-1976 tercatat empat kali pertemuan ilmiah internasional yang
dihadirinya.
Karier di bidang pendidikan
Di bidang pendidikan, Nugroho
banyak memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang
Kemahasiswaan FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun
1971-1985 Nugroho menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembina Pahiawan Pusat.
Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para
mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan
orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan
kehidupan mahasiswa.
Pada tanggal 19 Maret 1983, Nugroho dilantik
menjadi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV. Ia dikenal sebagai
orang yang kaya ide, karena semasa menjadi menteri, ia mencetuskan banyak
gagasan, seperti konsep wawasan almamater, Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa, Pendidikan Humaniora. Di samping itu, banyak jasa-jasanya dalam dunia
pendidikan karena ia yang mengubah kurikulum menghapus jurusan di SMA, sistem
seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Walaupun Nugroho
hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang
telah digarapnya, yaitu Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan
tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan
pendidikan kejuruan di sekolah menengah. Nugroho adalah satu-satunya menteri
yang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai tata laksana upacara resmi dan tata
busana perguruan tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah
dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.
Penghargaan
Puncak pengakuan atas sumbangan
Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang
Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha Dharma Nararya, Satyalancana Penegak.
Karier sebagai sastrawan
Pengarang yang dimasukkan H.B.
Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan
angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi
di antaranya adalah Nugroho Notosusanto.
Di antara pengarang semasanya,
Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya
menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai. Nugroho menyelami
zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi
pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang
krisis kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia
sastra Indonesia. Nugroholah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun
1953; yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.
Bakat Nugroho dalam mengarang
sudah terlihat ketika masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita
bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu
Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang
dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut
ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme
yang besar.
Sebagai sastrawan, pada mulanya
Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas.
Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho
kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora,
Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di
samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan. Hasil terjemahan
Nugroho, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe,
Understanding Histotry: A Primer of Historical Method. Terjemahan tentang
bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa, 1971 (Mario Pei, The Story of
Language), dan Mengerti Sejarah. Karena Nugroho cukup lama dalam kemiliteran,
ia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang serta suka-dukanya
hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan, Piyama, Doa
Selamat Tinggal, Latah, dan Karanggeneng. Dalam cerpen ini
bahasa yang digunakan padat dan sering ada kata-kata kasar. Nugroho juga dapat
bercerita dengan bahasa yang halus, seperti yang terdapat pada cerpen yang
berjudul Nini. Cerpen yang berjudul Nini ini bertema seorang anak
yang cacat dan ditinggal meninggal oleh ibunya, tetapi masih mengingat-ingat
kebaikan ibunya. Cerpen ini bahasanya sederhana dan isinya mudah dimengerti
pembaca. Isi cerpen ini tentang seorang ayah mencintai anaknya yang cacat dan
yang mirip dengan almarhumah istrinya.
Lingkungan pendidikan kata-kata
kasar agaknya memberi pengaruh pada sikap dan pandangan hidupnya, seperti sikap
terhadap dunia nenek moyang yang magis religius, seperti kita lihat dalam
cerpennya yang berjudul Mbah Danu, yaitu mengisahkan dukun “Mbah Danu”
yang terjadi di kota kelahiran pengarang. Dukun besar yang diakui keampuhannya
di seluruh daerah dalam menyembuhkan orang sakit dengan mengusir roh-roh,
setan-setan, dan jin-jin yang biasanya menghuni orang yang sedang sakit. Adanya
kepercayaan mistik ini kemudian menimbulkan pertentangan di kalangan ilmuwan
yang berpendidikan modern yang tak mau tahu tentang ilmu gaib. Begitu juga
seorang dokter yang melakukan tugasnya dengan perhitungan ilmiah.
Sebagai pengarang dan sebagai
tentara Nugroho dapat bercerita tentang suasana pertempuran, baik tentang
tempat, maupun peralatan peperangan. Pengarang mau berkata sejujurnya bahwa manusia
itu tidak bebas dari kesalahan, baik dia tentara, pelajar, maupun pemimpin,
seperti yang dilukiskannya dalam cerpen Pembalasan Dendam.
Kumpulan cerpen Hujan Kepagian
berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi
agresi Belanda. Buku ini
cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan manusia yang
mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang sering terjadi
dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat observasi yang
tajam.
Bukunya yang berjudul Tiga Kota
berisi sembilan cerita pendek yang ditulis antara tahun 1953-1954,
judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu
Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi
untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten,
dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001
Hilang dan Vickers Jepang. Oleh karena itu, kumpulan cerpen tersebut
diberi judul Tiga Kota. Cerpen-cerpen yang terkandung dalam Tiga Kota ini pada
umumnya sangat menarik, tidak hanya karena penuturan cerita yang lancar dan
dipaparkan dengan gaya akuan, tetapi juga karena penulis sendiri mengalami
peristiwa yang dituturkannya. Dengan demikian, cerpen-cerpen itu kelihatan
hidup. Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi
penulis.
Dalam seminar
kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan
makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Ia
mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak
bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho,
pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang
mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai
pandangan yang luas ke seluruh dunia.
Karier sebagai sejarawan dan kontroversinya
Sebagai seorang sejarahwan,
Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak
tersebut.[1]
Pada 1964 ABRI
menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena
khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai
kelompok kiri
pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer
lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis
melawan pemerintah.
Ketika diangkat sebagai menteri
pendidikan pada 1984,
Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk
lebih menekankan peranan historis militer. Pada tahun ini pula Nugroho ikut
menulis skenario untuk film Pengkhianatan G30S/PKI yang memuat versi
resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini kemudian dijadikan tontonan
wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar
sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal 30 September
hingga tahun 1997.
Peranan Nugroho dalam penulisan
sejarah versi Orde Baru paling menonjol ketika ia mengajukan versinya sendiri
mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr.
Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno. Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak
lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.
Kematian
Nugroho meninggal dunia hari
Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan
otak akibat tekanan darah tinggi. Ia adalah menteri keempat di Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa
tugasnya. Ia dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Cerpen yang dibukukan
1. Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. 1963. Jakarta:
Balai Pustaka
2. Hudjan Kepagian. 1958. Jakarta: Balai Pustaka
3. Rasa Sayange. 1961. Jakarta: Pembangunan
4. Tiga Kota. 1959. Jakarta: Balai Pustaka
Cerpen dalam majalah
Prosa
1. Pondok di Atas Bukit. Kompas untuk generasi baru, 11.1,
(51), 15—17.
2. Teratak. Kompas untuk generasi baru, 13.1,
(51), 33-34. (Nugroho NS)
3. Sebuah Pertemuan. Kompas untuk generasi baru, 2.2,
(52), 33-35.
4. Eksekusi. Madjalah Nasional, 44.4, (53),
20-21.
5. Gunung Kidul. Madjalah Nasional, 30.4, (53),
20-2 1.
6. Jeep 04-1001 Hilang. Kisah, 1.1, (53), 7, 9-10.
7. Konyol. Madjalah Nasional, 33.4, (53),
20-22.
8. Pembalasan Dendam. Madjalah Nasional, 37.4, (53),
20-22.
9. Ideal Type. Kisah, 1.2, (54), 19-22
10. Mbah Danu. Kisah, 9.2, (54), 271-172.
11. Nokturne. Kisah, 12.2, (54), .365-368.
12. Piyama. Kisah, 6.2, (54), 177-178.
13. Puisi. Kisah, 7.2, (54), 210-211.
14. Raden Satiman. Kisah, 3.2, (54), 79-81.
15. Vickers Jepang. Kisah, 5.2, (54), 129-131.
16. Jembatan. Kisah, 8.3, (55), 16-22.
17. Partus. Mimbar Indonesia, 25.9, (55), 20-2
1, 24-25.
18. Senyum. Madjalah Nasional, 6,7.6, (55),
25-26,22-23,26.
19. Setan Lewat. Mimbar Indonesia, 6.9, (55),
20-21.
20. Panser. Siasat, 524.11, (57), 29-31, 34.
21. Tangga Kapal. Forum, 4-5.4 (57), 24,32.
22. Kepindahan. Siasat, 598.12, (58), 31-32.
23. Piano. Siasat, 574.12, (58), 24-27.
24. Ular. Siasat, 595.12, (58), 26-29.
25. Karanggenang. Siasat, 619.13, (59), 28-30.
26. Latah. Siasat, 626.13, (59), 23-24.
27. Sungai. Budaya, 8.8, (59), 276-279,
28. Bayi. Femina, 16, (73), 42-44.
29. Alun. Kompas untuk generasi baru, 1.2,
(52), 67.
30. Jerit di Malam Kelam. Madjalah Nasional, 18.3, (52), 17.
31. Pesan di Malam yang Penub Bintang. Madjalah Nasional, 17.3, (52), 19.
32. Rancangan Requiem. Kompas untuk generasi baru, 1.2,
(52), 67.
33. Sebuah Pagi. Madjalah Nasional, 49.3, (52), 21.
34. Sepotong Kenangan. Madjalah Nasional, 46.3, (52), 19.
35. Sesal. Kompas untuk generasi baru, 2.2,
(52), 36.
36. Tiwikraina. Madjalah Nasional, 47.3, (52), 19.
37. Adios Yogya. Madjalah Nasional. 10.4, (53), 19.
38. Amerta. Madjalah Nasional, 16.4. (53), 19.
39. Bali. Budaya, 9, (53), 39.
40. Longka Pura. Madjalah Nasional, 16.4, (53), 19.
41. Sebuah Malam Minggu. Madjalah Nasional, 14.4, (53), 19.
MBAH DANU
Cerpen Nogroho Notosusanto
Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak,
kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau
yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh.
Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta
Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta
karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari
sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya
adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu "didiami"
oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan
menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.
Si Nah, gadis pelayan pada
keluarga Pak Jaksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama
makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan
bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringkik seperti kuda, kadang-kadang
menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan
perempuan-perempuan serumah dan tetangga-tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit
seolah-olah percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma jadi macan
gadungan.
Menurut kabar-kabar yang
cepatnya tersiar hampir seperti berita radio, Mbah Danu sedang turne. Routenya
adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan
kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir
pulang. Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran,
Mbah Danu dating membawa koper besi yang
sama antiknya dengan yang punya.
Dia tembusi badan Nah dengan pandang membara
sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata
tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal
seperti tempat duduk Jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain
mori.
"Ambilkan sapu lidi!" perintah Mbah
Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan
menyeretnya dari tikarnya ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya istimewa
besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu
memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis
tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat
tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan
megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.
"Ngeoooong!" keluar
dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.
"Mampus engkau
sekarang!" seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus-menerus menghantam
pantat Nah dengan irama rhumba. Nah
tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang
marah. Sebagian hadirin mau lari.
"Minggat! Ayo
minggat!" teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah
ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar,
bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.
"Aduh biyuuuuuung! Aduh
biyuuuuuuung!!" tangisnya menggaung.
"Minggat! Minggat! Minggat!!"
suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas
mengalir masuk ke rumah itu untuk menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang
mereka dengar.
"Aduuuuuh! Aduh, aduh,
aduuuuuh!" pekik Nah seperti manusia biasa.
"Minggat! Minggat! Ayo
minggat!!" jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan
tangan kanan dan menggenggam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah
ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya 11/2 meter.
"Salah hamba apa kok
disuruh minggat dan dihajar?" Tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba
merangkak.
Sikap Mbah Danu sekaligus
berubah.
"Aku bukannya berbicara
kepadamu, Nah," katanya dengan suara mineur yang lembut. "Aku
mengusir setan-setan di dalam badanmu."
Sebagai pengeras perkataan yang
terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian
kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang.
Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.
"Ha! Hampir modar engkau
sekarang!" seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak
tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama 5 menit ia mondar-mandir di atas badan
Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya
diacung-acungkan untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis
seperti Batari Durga yang menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan
badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini
merah padam.
Mbah Danu berdiri dan memberi
isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu
ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian
si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas
seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh
rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti
perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah Danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemudian
ia melepaskannya dan tegak pada lututnya.
"Setan-setan sudah lari
dari badanmu, Nah," katanya tenang. "Engkau telah sembuh." Dan
di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk
bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.
"Tidurlah saja dulu
sampai besok," kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan
menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala
Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulntnya pada dahi si sakit. Setelah
itu ia berdiri dan ke luar untuk rneminuni kopinya.
Prabawa Mbah Danu di rumah Pak
Jaksa yang jadi sebagian prabawanya di daerah yang terentang dari Kudus sampai
Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr.
Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi
mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan
pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil
Mbah Danu.
"O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu," kata
Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo
sendiri. "Coba buka baju saja; akan saya usir." Dan Mbah Danu mulai
berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging
perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan
bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan
kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup.
Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya
Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu,
sehingga angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan
berletusan. Justru ketika itu Mr. Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi
pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah
Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya
dimarahinya.
"Engkau tahu bukan, bahwa
pijetan itu bisa merusakkan rahimmu?!"
Sebagai akibat insiden itu,
Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak
Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling
kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatanMbahDanu
tetap utuh.
Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo,
meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi, ketika Mbok Rah, pelayan Pak
Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang
berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa
pikir panjang segera menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai
mengigau; sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter
Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya
daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di
stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
"Malaria," diagnose
Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang
pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk
lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.
Penyakit Mbok Rah makin lama
makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu
benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah
Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar
Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara
mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap
tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan
marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik
bebas yang pasif itu.
Dokter Umar Chattab heran.
"Kininenya sudah Tuan
berikan sebagai yang saya tetapkan?" tanyanya.
"Ya," jawab Nyonya
Salyo mendahului suaminya. "Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu
kepada Mbok Rah."
Dokter Umar Chattab pulang
dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu
menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.
Keadaan Mbok Rah makin lama
makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas
meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang
sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke
dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan
puntung sigaret.
"Kita telah berbuat sebaik
mungkin," kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.
"Mengapa Jeng, mengapa ia
meninggal?!" seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya
yang tidak menjawab.
"Kita tak bisa percaya kepada nonsense
itu bukan!" katanya lagi.
"Inna li'llahi wa inna illahi
raji'un," kata Nyonya Salyo.
Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan
untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan
mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan nyonya ikut menyaksikan pengambilan
jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan
terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar
itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus
solider dengan kekecewaan suaminya.
Hawa di
dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo
membukajendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang
besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr.
Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan
pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan
sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar.
Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka
melihat pil kinine membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.
7-7-1954
Sumber: Kumpulan Cerpen Tiga Kota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar